Welcome to our site

welcome text --- Nam sed nisl justo. Duis ornare nulla at lectus varius sodales quis non eros. Proin sollicitudin tincidunt augue eu pharetra. Nulla nec magna mi, eget volutpat augue. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos himenaeos. Integer tincidunt iaculis risus, non placerat arcu molestie in.

PUNAH

Jumat, 28 Februari 2014

RAMPOGAN MACAN – Kisah Alun-alun Kediri – tahun 1890 …. 


Suatu siang yang terik di alun-alun kota Kediri. Ribuan orang berjejal memenuhi alun-alun, menimbulkan suasana hiruk pikuk. Mereka berdiri berdesakan mengelilingi alun-alun dan membuat arena dalam bentuk lingkaran besar, sedangkan orang yang berdiri bersiap ke belakang. Sedangkan yang berdiri di barisan paling
depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap siaga, berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul yang berlarian di tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau ke Barat, dengan sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang runcing dan tajam.

Para penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan meruntuhkan langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.

Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran ribuan tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung jumlahnya, mirip Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan terluka parah. Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat dari kepungan tombak, kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi demikian, para penonton makin riuh, lari ke sana kemari untuk menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak berlarian tanpa arah, berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.

Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran atau yang dalam bahasa Jawa disebut Bakda, sekitar tahun 1890-an sampai dengan 1900-an . Tradisi menombak harimau itu biasa disebut grampog. Ketika tradisi rampogan ini dikerjakan, masih banyak ditemukan harimau di hutan-hutan. Harimau-harimau tadi sering mengganggu petani karena sering makan hewan ternak, terkadang juga memangsa manusia. Karena itu para pejabat atau penguasa memerintahkan menangkap harimau yang merugikan petani tersebut. Bahkan
jika perlu dibunuh. Yang bisa menangkap sekaligus membunuh harimau akan diberi hadiah sepuluh sampai dengan lima puluh gulden, tergantung besar atau kecilnya si macan.
Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing membawa tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka diiringi dengan Gendhing Monggang. Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan arak -arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa. Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti baju keprajuritan. Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung. Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri , nonton dari atas panggung.Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima lapis. Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat
bahwa rampogan segera dimulai.

Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya, yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng, menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya, jatuh menimpa si harimau.
Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas matahari. Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta diacungi tombak.

Jika ada harimau besar berhasil mati dirampog dan tidak berhasil meloloskan diri, gandheknya mendapat pujian, ia menari-nari di tengah alun-alun, disoraki banyak orang. Rampogan macan akan lebih ramai dan asyik justru jika ada harimau yang berhasil lolos dan keluar dari arena. Tingkah laku manusia di alun-alun
ribut tak karuan. Ada yang kehilangan anak, kehilangan teman, ada yang mendapat kecelakaan, bahkan ada yang mencopet perhiasan penonton. Pernah ada rampog yang berhasil lolos, karena harimaunya masih segar
dan liar lantaran baru saja tertangkap. Saat lepas, dia lari dengan cepat, ekornya tegak menantang lan menerjang pasukan. Ketika dijemput dengan tombak dia justru meloncat dan menjatuhkan diri serta menimpa orang yang berada di lapis depan. Enam orang yang ditubruk tentu saja luka berdarah terkena cakaran
harimau. Sementara itu, peserta rampog yang lain melarikan diri sambil membawa tombak, tidak peduli dengan nasib orang lain, bahkan ada yang menabrak dagangan orang sehingga langsung berantakan seketika. Si macan kemudian bersembunyi di bawah bangku tempat orang berjualan. Penjualnya berteriak-teriak, kemudian
memukuli bangkunya dengan pikulan. Akhirnya si harimau mati dikroyok tombak orang banyak.
Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu. Meskipun hanya terasa
sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh, manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah dibungkus terlebih dahulu.

Kini…
berdiri megah plaza dan dentum musik memeriahkan alun-alun Kediri…Pusat perbelanjaan berwarna-warni penuh keramaian orang-orang….Mesjid Jami sudah direnovasi…kusen hijau-nya itu sudah berganti dengan pilar-pilar raksasa berwarna krem….beberapa pasang anak muda melintasi jalan-jalan….puluhan pedagang kerupuk kere/ upil/ bakaran menjajakan dagangan di kios-kiosnya…. Bis-bis menuju dan ke Terminal baru masih berkejaran di Jalan Brigjen Katamso……

Sudah setengah jam Marno dan Santi masih berdiri di perempatan lampu merah menunggu colt yang mengarah ke Nganjuk. Meski sudah diingatkan agar naik bis saja biar cepat, Marno dan Santi ndak peduli, tetap ingin naik colt jurusan Nganjuk, meski tahu pasti akan lama ngetem lama di Terminal Baru. Loceret adalah Tujuan dua insan ini. Marno adalah buruh tani asal Loceret, sedangkan Santi adalah anak pedagang Emas di Pasar Gringging. Keduanya kenal setelah Marno sering disuruh mengantar juragannya, Bu Haji Lah, pemilik selepan padi di Loceret untuk membeli perhiasan di Pasar Gringging. Perkenalan kedua anak muda ini membawa cinta, tapi rupanya ndak disetujui oleh orangtua Santi yang anak Pedagang Emas… dan meski jauh untuk ukuran orang desa, alun-alun Kediri menjadi tempat paling romantis bagi keduanya…. Ironis….sejak keduanya menaiki colt Jurusan Nganjuk yang mereka tunggu…sejak itu pula hilang jejak keduanya..menghilang… sanak saudara dan kerabat telah kehilangan jejak….hanya keterangan penjual bakso di sebelah selatan Jalan Brigjen katamso satu-satunya.. yang menyaksikan keduanya… hari itu alun-alun Kediri telah menjadi saksi ikrar kisah romantic dan misteri mereka berdua…

Dikutip dari:http://keluarga-basoeki.blogspot.com/2013/03/antara-misteri-rampogan-macan-dan-kisah.html

0 komentar:

Posting Komentar