MUSSO SI ANAK 'ALIM DARI KEDIRI
BANYAK orang mengenalnya sebagai
tokoh Partai Komunis Indonesia dalam pemberontakan 1926 dan 1948. Yang
pertama aksi PKI menentang pemerintah kolonial Belanda. Yang terakhir
gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur, melawan pemerintah pusat.
Dialah Musso, anak Kediri yang ketika
kecil dikenal rajin mengaji. Mendapat pendidikan politik ketika
indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan
sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa
disejajarkan dengan peran Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Dia belajar politik di Moskow, Rusia,
dan mengamati dari dekat strategi gerakan komunis Eropa. Ia bermimpi
tentang negeri yang adil, setara, dan merdeka seratus persen. Ia
memilih jalan radikal, bersimpang jalan dengan kalangan nonkomunis,
bahkan juga kalangan kiri yang tak segaris. Tapi radikalisme itu tak
membuatnya bertahan. Ia lumat dalam gerakan yang masih berupa benih.
Akhir Oktober, 62 tahun lampau, Musso tersungkur.
Radikal Kiri Si Bocah Alim
MUSSO berasal dari keluarga berada buat
ukuran zamannya. Lahir dengan nama Munawar Muso pada 1897, ia tumbuh
di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Musso
bersama Sidik, adiknya, hidup berkecukupan. Ayahnya, Mas Martoredjo,
pegawai kantoran pada bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah.
Ibunya bekerja di rumah, mengelola kebun kelapa dan kebun mangga.
Di desa terpencil itu, Musso tumbuh
bersama dua teman karib: Ronodihardjo dan seorang lagi yang belakangan
dikenal sebagai Kiai Kemendung. Mereka bocah alim yang rajin ke
Musala Ar-Rahman milik Ki Demang Telo, ayah Ronodihardjo. Ki Demang
Telo ketat menjaga ibadah mereka. Ia tinggal hanya 50 meter dari rumah
orang tua Musso. “Ke mana-mana selalu bersama,” kata Agus Pitono, 47
tahun, cucu Ronodihardjo, yang memperoleh cerita dari kakeknya.
Menurut Agus, Musso dan Ronodihardjo
mengendarai sepeda motor kebo-merek Ural buatan Soviet. Masuk akal,
karena orang tua mereka cukup kaya. Orang tua Ronodihardjo memiliki
sepertiga tanah di Desa Jagung. Adapun keluarga Musso menguasai banyak
tanah, termasuk di beberapa desa lain. Luas tanah di sekeliling rumah
orang tua Musso saja tiga hektare. Di sana berdiri satu bangunan
rumah dan ratusan pohon kelapa.
Agus mengatakan ibu dan neneknya
menggambarkan Musso sebagai orang yang pintar berorganisasi.
Perkawanan Musso, Ronodihardjo, dan Kiai Kemendung putus ketika Musso
melanjutkan sekolah ke kota pada usia 16 tahun. Ronodihardjo mewarisi
jabatan ayahnya, demang. Sedangkan Kiai Kemendung mendirikan pondok
pesantren di Dusun Kemendung, Desa Jagung. Itulah sebabnya masyarakat
menyebut dia Kiai Kemendung.
Tiap kali Musso menjenguk orang tuanya,
tiga bersahabat itu selalu berkumpul. Hanya, belakangan Kiai Kemendung
jarang bergabung karena sibuk di pondok. “Tinggal Kakek dan Mbah
Musso. Seperti saudara kandung,” kata Agus.
Kini sepetak tanah kosong di Desa Jagung
menjadi saksi bisu lahirnya Musso, pentolan Partai Komunis Indonesia.
Rumah besar gaya priayi Jawa yang dulu berdiri megah di situ tak ada
bekasnya. Rumah itu sudah dibongkar puluhan tahun lalu. Hanya
rerumputan dan perdu yang tumbuh. Tanah itu kini milik Erny, 55 tahun.
Ia bukan kerabat Musso.
Erny membeli tanah ini dari Sidik. Rumah
dan tanah sekitar tiga hektare milik orang tua Musso belakangan
menjadi milik Sidik. Pada 1970-an, Sidik memecah tanah jadi sembilan
petak dan menjualnya. Saat itu harga tanah Rp 50 ribu per ru-satuan
luas setara 1 x 14,5 meter. “Mbah Sidik pindah ke dekat penjara
Mojoroto,” kata Erny, tiga pekan lalu. Mojoroto adalah kecamatan dalam
wilayah Kota Kediri. Tapi jejak Sidik tak ditemukan.
Sekitar 200 meter dari rumah itu,
Nyatin, 80 tahun, yang pernah menjadi pembantu rumah tangga orang tua
Musso, membuka warung kopi. Tapi Nyatin tak mau dikorek banyak soal
keluarga Musso. Ia pernah didatangi orang yang mengaku intelijen.
Itulah sebabnya Nyatin memilih mengubur dalam-dalam kisah kedekatannya
dengan keluarga Musso. “Saya takut,” kata dia, tiga pekan lalu.
Menurut Ruth T. McVey dalam The Rise of
Indonesian Communism, yang diterbitkan Cornell University Press,
Ithaca, New York, pada 1965, Musso menempuh sekolah guru di Batavia
atau Jakarta. Di sekolah ini, ia bertemu dengan Alimin, yang kelak
juga menjadi pentolan gerakan kiri Indonesia. Musso adalah anak didik
pertama G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan
bumiputra. Hazeu pula yang mengangkat Alimin sebagai anak. Hazeu
pertama kali berjumpa dengan Alimin sebagai bocah gembel di alun-alun
Solo. Hazeu memberi dia beberapa keping uang dan Alimin langsung
membagi rata kepada temannya. Hazeu terkesima oleh Alimin kecil yang
punya bibit sosialisme.
Di sekolah itu, Musso berguru pada
seorang reformis politis etis, D. Van Hinloopen Labberton, yang juga
Ketua Theosofische Vereeniging di Batavia. Madjallah Merdeka terbitan
Oktober 1948 seperti dikutip McVey menyebutkan, setelah tamat
pendidikan guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di
Buitenzorg atau Bogor. Kampus ini cikal-bakal Institut Pertanian
Bogor.
Versi lain menyatakan Musso bersekolah
di Hogere Burger School. Soemarsono, pemimpin militer gerakan Madiun
1948, menyebutkan Musso dua tingkat lebih senior dibanding Sukarno,
yang masuk HBS Surabaya pada 1915. Di Surabaya, Musso kos di rumah
tokoh pergerakan Tjokroaminoto. HBS adalah sekolah lanjutan menengah
untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi.
Sekolah ini berpengantar bahasa Belanda
dan ditempuh lima tahun. Bekas gedung HBS Surabaya kini adalah Kantor
Pos Besar Kebonrojo, sekitar 300 meter dari rumah Tjokroaminoto di
Peneleh. Arnold C. Brackman dalam Indonesian Communism terbitan 1963
mengatakan Musso bekerja sebagai kasir kantor pos Surabaya. Di sini,
Musso berhasil mengorganisasi buruh kantor pos. “Musso juga punya
reputasi sebagai jagoan jalanan Surabaya,” kata Brackman.
Buku H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan
Perdjuangannja, terbitan Partai Sarekat Islam, yang dikutip McVey,
menyebutkan rumah Tjokroaminoto tempat penting bertemunya secara
pribadi pemimpin pergerakan. Asrama ini dikelola Suharsikin, istri
Tjokroaminoto, pada 1913-1921. Di sini, Musso, Alimin, dan Sukarno
berguru pada Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat
Islam pada 1912, Musso juga aktif di pergerakan itu. Rumah
Tjokroaminoto menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
Di rumah Tjokroaminoto ini, Musso
bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, yang
suka pada ide-ide sosial demokrat revolusioner. Sneevliet datang ke
Hindia Belanda (Indonesia) pada 1913. Ia menetap di Surabaya selama
dua bulan dan menjadi Pemimpin Redaksi Handelsblad. Selama di
Surabaya, Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokroaminoto,
termasuk Musso. Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco
Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet. Setahun
kemudian, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV), yang berhaluan Marxisme.
Sneevliet pula yang memasukkan gagasan
sosialis dalam tubuh Sarekat Islam melalui Musso-Alimin dan lainnya.
Sneevliet jeli melihat Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat yang
memiliki basis massa besar. Itu sebabnya Sneevliet masuk dan
menanamkan pengaruhnya dengan membangun blok merah di Sarekat Islam.
Apalagi Sneevliet adalah orang yang berani menyuarakan gagasan “Hindia
Belanda Merdeka”-gagasan yang revolusioner untuk masa itu ketika
Belanda kuat menancapkan imperialisme.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan mewawancarai Darsono, kawan pribadi Musso,
pada 1964. Menurut Darsono, Musso adalah orang yang senang amuk-amukan
karena ikut gerakan Sarekat Islam Afdeling-B. Sarekat Islam
Afdeling-B atau Seksi B atau Sarekat Islam B adalah suatu cabang
revolusioner. Gerakan ini didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di
Cimareme, Garut, Jawa Barat.
Menurut sejarawan Ricklefs, selain
menangkap Sosrokardono, Belanda menangkap Musso dan Alimin. Mereka
adalah orang ISDV yang disusupkan ke Sarekat Islam. Selama di penjara,
Musso mendapat perlakuan buruk. Meski begitu, sikap revolusioner dia
tak langsung tampak setelah bebas dari penjara. Menurut Soe Hok Gie,
perlakuan menyakitkan itulah yang membuat Musso makin benci kepada
Belanda. Di penjara ini pula Musso intens bertemu dengan kawan-kawan
komunis. “Di sana, Musso mendapat political lesson tentang komunisme
secara intensif,” kata Soe Hok Gie.
McVey menyatakan Van Hinloopen Labberton
berencana menjadikan Musso asisten mengajar di Jepang. Tapi
pemerintah Jepang menyatakan Musso tak memenuhi syarat. Ia dianggap
tak mampu mengajarkan bahasa Indonesia menggunakan pengantar bahasa
Inggris. Padahal Musso menguasai dua bahasa ini dengan baik. McVey
curiga itu lebih karena faktor Musso yang beraliran politik radikal.
Apalagi dia pernah dipenjara.
Segera setelah penolakan Jepang itu,
Musso mengumumkan berdirinya Partai Komunis Indonesia cabang Batavia.
Semaoen mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi
Partai Komunis Indonesia pada 1920. Musso dan Alimin bergabung dengan
Partai Komunis Indonesia pada 1923.
0 komentar:
Posting Komentar