RAMPOGAN MACAN – Kisah Alun-alun Kediri – tahun 1890 ….
Suatu siang yang terik di alun-alun kota Kediri. Ribuan orang
berjejal memenuhi alun-alun, menimbulkan suasana hiruk pikuk. Mereka
berdiri berdesakan mengelilingi alun-alun dan membuat arena dalam bentuk
lingkaran besar, sedangkan orang yang berdiri bersiap ke belakang.
Sedangkan yang berdiri di barisan paling
depan masing-masing memegang tumbak yang runcing. Semuanya bersikap
siaga, berdiri tegak dengan pandangan tajam mengawasi si macan tutul
yang berlarian di tengah arena. Jika si harimau lari ke Timur, dihalau
ke Barat, dengan sendirinya sambil ditusuk dengan ujung tombak yang
runcing dan tajam.
Para penonton pun bersorak sorai riuh sekali, seperti membelah bumi dan
meruntuhkan langit tanggal 1 Syawal, sekitar pukul dua belas siang.

Tidak berapa lama macan tutul tadi sudah luka parah dijadikan sasaran
ribuan tombak. Ada yang langsung mati dengan luka tak terhitung
jumlahnya, mirip Abimanyu ketika menjadi Senapati saat Perang Baratayuda
Jayabinangun, saat dikeroyok para Kurawa dan akhirnya gugur dengan
terluka parah. Namun demikian, ada juga harimau yang lolos dan selamat
dari kepungan tombak, kemudian melarikan diri dari arena. Jika terjadi
demikian, para penonton makin riuh, lari ke sana kemari untuk
menyelamatkan diri. Yang tidak memegang tombak berlarian tanpa arah,
berusaha jangan sampai menjadi mangsa harimau.
Begitulah gambaran secara singkat saat merayakan Hari Raya Lebaran
atau yang dalam bahasa Jawa disebut Bakda, sekitar tahun 1890-an sampai
dengan 1900-an . Tradisi menombak harimau itu biasa disebut grampog.
Ketika tradisi rampogan ini dikerjakan, masih banyak ditemukan harimau
di hutan-hutan. Harimau-harimau tadi sering mengganggu petani karena
sering makan hewan ternak, terkadang juga memangsa manusia. Karena itu
para pejabat atau penguasa memerintahkan menangkap harimau yang
merugikan petani tersebut. Bahkan
jika perlu dibunuh. Yang bisa menangkap sekaligus membunuh harimau akan
diberi hadiah sepuluh sampai dengan lima puluh gulden, tergantung besar
atau kecilnya si macan.

Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan
berdandan habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan,
masing-masing membawa tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga
puluh, secara serentak para pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk
menghadap para pembesar) dan menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan
mereka diiringi dengan Gendhing Monggang. Di Paseban para pembesar tadi
diterima oleh sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para
pembesar dari negeri seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati,
kemudian dilanjutkan dengan arak -arakan encek yang mengelilingi arena
dan berhenti di depan pendapa. Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan
dari pendopo Kabupaten yang selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di
Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk
berganti baju keprajuritan. Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang
biasa digunakan untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan
topi pet, membawa keris dan selanjutnya diselipkan di punggung;
kemudian mencari tempat duduk sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin
Kurung. Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para
bangsawan putri , nonton dari atas panggung.Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah
bersiaga dalam barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan
tumbaknya ke tanah, berjajar dengan jarak sekitar 30 sentimeter,
mengelilingi arena hingga empat atau lima lapis. Tombak yang tangkainya
pendek diletakkan di depan, yang tangkainya panjang di belakang. Pukul
sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten serentak masuk barisan.
Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk memundurkan barisan
yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang Bupati naik
ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat
bahwa rampogan segera dimulai.

Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau.
Biasanya, yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang
pemberani dalam menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik
ke atas kerangkeng, menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan
masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya, jatuh menimpa si harimau.
Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau
pusing karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar
dari kerangkeng hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan,
termenung sebentar kemudian menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di
rerumputan, terlentang, berpanas matahari. Orang-orang yang menonton
bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud agar harimau segera lari
menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak menghiraukan, kemudian ada
yang melempar kembang api, didatangi, digoda serta diacungi tombak.
Jika ada harimau besar berhasil mati dirampog dan tidak berhasil
meloloskan diri, gandheknya mendapat pujian, ia menari-nari di tengah
alun-alun, disoraki banyak orang. Rampogan macan akan lebih ramai dan
asyik justru jika ada harimau yang berhasil lolos dan keluar dari arena.
Tingkah laku manusia di alun-alun
ribut tak karuan. Ada yang kehilangan anak, kehilangan teman, ada yang
mendapat kecelakaan, bahkan ada yang mencopet perhiasan penonton.
Pernah ada rampog yang berhasil lolos, karena harimaunya masih segar
dan liar lantaran baru saja tertangkap. Saat lepas, dia lari dengan
cepat, ekornya tegak menantang lan menerjang pasukan. Ketika dijemput
dengan tombak dia justru meloncat dan menjatuhkan diri serta menimpa
orang yang berada di lapis depan. Enam orang yang ditubruk tentu saja
luka berdarah terkena cakaran
harimau. Sementara itu, peserta rampog yang lain melarikan diri sambil
membawa tombak, tidak peduli dengan nasib orang lain, bahkan ada yang
menabrak dagangan orang sehingga langsung berantakan seketika. Si macan
kemudian bersembunyi di bawah bangku tempat orang berjualan. Penjualnya
berteriak-teriak, kemudian
memukuli bangkunya dengan pikulan. Akhirnya si harimau mati dikroyok tombak orang banyak.

Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu
tombak bisa dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan
umum, kalau tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya,
bahu dari si pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu.
Meskipun hanya terasa
sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya
ampuh, manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri
dan melompat sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti
itu, si keris haruslah dibungkus terlebih dahulu.
Kini…
berdiri megah plaza dan dentum musik memeriahkan alun-alun Kediri…Pusat
perbelanjaan berwarna-warni penuh keramaian orang-orang….Mesjid Jami
sudah direnovasi…kusen hijau-nya itu sudah berganti dengan pilar-pilar
raksasa berwarna krem….beberapa pasang anak muda melintasi
jalan-jalan….puluhan pedagang kerupuk kere/ upil/ bakaran menjajakan
dagangan di kios-kiosnya…. Bis-bis menuju dan ke Terminal baru masih
berkejaran di Jalan Brigjen Katamso……
Sudah setengah jam Marno dan Santi masih berdiri di perempatan lampu
merah menunggu colt yang mengarah ke Nganjuk. Meski sudah diingatkan
agar naik bis saja biar cepat, Marno dan Santi ndak peduli, tetap ingin
naik colt jurusan Nganjuk, meski tahu pasti akan lama ngetem lama di
Terminal Baru. Loceret adalah Tujuan dua insan ini. Marno adalah buruh
tani asal Loceret, sedangkan Santi adalah anak pedagang Emas di Pasar
Gringging. Keduanya kenal setelah Marno sering disuruh mengantar
juragannya, Bu Haji Lah, pemilik selepan padi di Loceret untuk membeli
perhiasan di Pasar Gringging. Perkenalan kedua anak muda ini membawa
cinta, tapi rupanya ndak disetujui oleh orangtua Santi yang anak
Pedagang Emas… dan meski jauh untuk ukuran orang desa, alun-alun Kediri
menjadi tempat paling romantis bagi keduanya…. Ironis….sejak keduanya
menaiki colt Jurusan Nganjuk yang mereka tunggu…sejak itu pula hilang
jejak keduanya..menghilang… sanak saudara dan kerabat telah kehilangan
jejak….hanya keterangan penjual bakso di sebelah selatan Jalan Brigjen
katamso satu-satunya.. yang menyaksikan keduanya… hari itu alun-alun
Kediri telah menjadi saksi ikrar kisah romantic dan misteri mereka
berdua…
Dikutip dari:http://keluarga-basoeki.blogspot.com/2013/03/antara-misteri-rampogan-macan-dan-kisah.html